Di gerai the Body Shop yang modern serangkaian produk berbahan dasar moringa salah satu favorit pembeli. Terbukti kelor bukan sekadar bahan sayur, obat encok, apalagi peluruh kekuatan magis.
Produk-produk itu dikemas dalam wadah-wadah cantik. Sebut saja moringa body scrub dalam wadah bulat dengan gambar bunga kelor di bagian atas kemasan. Krim mandi itu berfaedah menjadikan kulit penggunanya lebih cerah karena mampu mengangkat sel kulit mati dan merangsang tumbuhnya sel kulit baru.
Produk lain, milk body lotion dalam botol plastik transparan. Dalam bentuk milk lotion, pelembap itu lebih mudah meresap ke kulit. Kulit menjadi halus, lembut, dan lembap selama 12 jam dengan aroma bak bunga surgawi. Menurut brand values manager the Body Shop Indonesia, Ratu Maulia Ommaya, khasiat itu karena kandungan asam oleat dalam minyak biji kelor—salah satu bahan baku. “Asam oleat yang membantu mengembalikan tingkat kelembapan kulit, melindungi kulit agar tidak kering, serta menjaga kulit tetap halus dan lembut,” tulis Maya dalam surat elektroniknya.
Sayur marongghi
Pengembangan produk yang masuk ke Indonesia pada Juni 2008 itu antara lain berkaca pada adat masyarakat di sebuah desa di Oman. Penduduknya memakai kelor antara lain untuk parfum dan minyak rambut. Riset Nurani Istiqomah dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran mengungkap daun kelor kaya polifenol, betakaroten, dan flavonoid kuersetin. Oleh karena itu daun Moringa oleifera potensial sebagai sediaan kosmetik.
Di tanahair, kelor lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Nun di Sumenep, Jawa Timur, sayur daun marongghi—sebutan kelor—yang dihidangkan bersama nasi jagung, pepes ikan, atau ikan bakar salah satu ciri khas santapan Madura. Daun kelor dimasak bening dengan bumbu temukunci dan campuran parutan kelapa. Wartawan Trubus Tri Istianingsih mencicipinya saat berkunjung ke kediaman Hartini di Sumenep pada akhir Maret 2011. Untuk membuatnya Hartini cukup mengambil daun tanaman anggota famili Moringaceae dari halaman rumah.
Periset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Yohanes Purwanto, menuturkan masyarakat Jawa memang terbiasa menanam kelor di pekarangan rumah. Budaya itu karena, “Mereka percaya kelor menangkal kekuatan magis,” tutur Purwanto. Sembari itu daunnya dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
Menurut pasangan Bambang dan Hartini di Sumenep terdapat dua jenis kelor yang tumbuh di Madura: berbatang hijau dan ungu. Jenis berbatang ungu daunnya kecil-kecil dan citarasa saat disayur lebih enak ketimbang kelor berbatang hijau. Daun kelor juga menjadi bagian menu makanan masyarakat di Nusa Tenggara Barat. Kebiasaan turun-temurun menyantap kelor itu tanpa disadari memanfaatkan khasiat kelor yang kaya nutrisi seperti hasil riset di berbagai negara.
Kandungan gizi lengkap pula yang mendorong CV Ramawan Prima Mandiri (RPM) memproduksi bubur kelor. Menurut managing director RPM, Fitri Malia, selain kaya manfaat kelor juga relatif mudah dibudidayakan. Dengan demikian kebutuhan bahan baku mudah dipenuhi. "Bubur kelor yang sehat dan unik," kata Fitri.
Bubur berbahan baku beras merah, beras kuning, beras hitam, dan kacang merah itu dapat ditemui di beberapa gerai Serambi Botani di Bogor dan Jakarta. “Respon pasar cukup baik,” tutur Dwiko Gunawan dari Serambi Botani. Banyak ibu membeli bubur kelor untuk konsumsi buah hati mereka karena kaya gizi.
Param pegal
Keandalan kelor mengatasi berbagai keluhan kesehatan juga sudah dirasakan banyak orang di berbagai daerah. Zaenal Gani di Malang, Jawa Timur, misalnya meresepkan kelor untuk mengatasi pegal-pegal. Daun dihaluskan bersama garam lalu dioleskan ke bagian tubuh yang pegal. “Kelor biasanya dipakai dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan metabolisme tubuh seperti asam urat dan penyakit berhubungan dengan pencernaan,” tutur Sidi Aritjahja, dokter sekaligus herbalis di Yogyakarta.
Akarnya ampuh menyembuhan nyeri, rematik, dan asam urat sebagai mana diresepkan oleh Wahyu Suprapto. Riset di berbagai negara menunjukkan kelor berkhasiat membantu mengatasi kanker, mengontrol gula darah, hingga membantu memperbaiki kondisi pasien HIV/AIDS.
Yang tidak kalah penting tentu saja pemanfaatan biji kelor sebagai penjernih air permukaan (kolam, sungai, danau). Itu sejalan dengan riset yang dilakukan di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung sejak 1980-an. Biji kelor dibuat menjadi bubuk lalu ditambah air hingga menjadi pasta. Pasta itu yang dimasukkan ke dalam air sebagai koagulan, penyerap kotoran. Tanaman kelor juga mampu hidup di tanah minim air dan menjadi pohon perintis yang memberi lingkungan tumbuh yang kondusif untuk tanaman-tanaman lain.
Prof Dr Johan Iskandar, guru besar etnobotani di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran menyebut masyarakat di Desa Pasirbiru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, kerap menggunakan kelor untuk mengobati penyakit cacingan pada ternak kambing, domba, dan sapi. Caranya daun kelor dibakar lalu dicampur dengan air dan diminumkan pada ternak.
Sayangnya, sejuta manfaat pohon mukzijat itu tak banyak dilirik. Kini kian sulit menemukan pohon kelor tumbuh di halaman-halaman rumah penduduk . Pantas bila banyak orang sekarang sekadar mengenal namanya yang kerap disebut dalam pepatah Dunia Tak Selebar Daun Kelor. (Evy Syariefa/Peliput: Dahlia, Faiz Yajri, & Silvia Hermawati)
Sumber: Trubus 501 - Agustus 2011/XLII
gitu yah, kayaknya cakep jg kelor ini.
BalasHapusdi kampung aku cuman dipake untuk rambatan sirih aja, taunya lebih berguna kelornya...
Hahahaa jadi produk ƔαϞğ aq pake moringa moringa moringa serba moringa di body shop itu trnyata kelor toh,oalahh,thanks untuk infonya,
Hapus